Bagaimana Radio dan Televisi Siaran
Mengubah Pola Hidup Keluarga
Media,
Teknologi, dan Pembelajaran televisi, diagram, material cetak, komputer, dan
instruktur. Ini semua dianggap media pembelajaran ketika membawa pesan dengan
tujuan pembelajaran. Tujuan dari media adalah untuk memudahkan komunikasi.Sejalan
dengan adanya sekolah dan kampus berbasis media dan jaringan koputer internet,
dunia menjadi kelas tersendiri bagi pebelajar. Dengan demikian penyeragaman
kurikulum sekolah-sekolah dianggap wajar. The Conrete-Abstract Continuum Media
pembelajaran yang menggabungkan pengalaman kongkri ...
pola-pola
belajar yang telah terbiasa. Contohnya; menciptakan suatu kemampuan yang di
sebut dengan memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Informasi yang
baru disimpan oleh memori jangka pendek, dimana informasi itu dilatih sampai
dapat dikatakan siap disimpan dalam memori jangka panjang. Penganut
Kognitifistimemiliki persepsi yang luas terhadap belajar yang independent.
Dengan demikian, maka siswa menggabungkan informasi dan ketrampilan dalam
memori jangka panjang untuk mengembangkan ... hidup di dalam kelas. Tentunya
media pembelajaran dirancang dengan sesuai agar dapat mempertinggi dan
memajukan pembelajaran dan mendukung pembelajaran berbasis guru. Penelitian
telah lama dilakukan dan menunjukan
peran istruktur
dalam menggunakan media pembelajaran yang efektif. Misalnya, penelitian
menunjukan bahwa ketika guru memperkenalkan film, mengaitkannya dengan tujuan
pembelajaran, maka sejumlah informasi yang diperoleh siswa dari film tersebut
meningkat (Wittich & fowlkes, 1946). ...
Dalam
sejarah, media dan teknologi memiliki pengaruh terhadap pendidikan. Contohnya,
komputer dan internet telah mempengaruhi proses pembelajaran sampai saat ini.
Aturan-aturan dari pendidik dan pebelajar telah berubah karena dipengaruhi
media dan teknologi yang digunakan di dalam kelas.Perubahan ini sangat
esensial, karena sebagai penuntun dalam proses pembelajaran, pendidik (guru)
berhak menguji media dan teknologi dalam konteks belajar dan itu berdampak pada
hasil belajar siswa. LEARNING Belajar adalah proses pengembangan pengetahuan,
ketrampilan-ketrampilan, atau pengembangan tingkah laku sebagai interaksi individu,
menyangkut fasilitas-fasilitas fisik, psikologis, metode pembelajaran, media,
dan teknologi. Belajar adalah proses yang dilakukan sepanjang waktu oleh
individu manapun.Dengan demikian, belajar adalah proses yang melibatkan proses
seleksi, pengaturan, dan penyampaian pesan yang pantas kepada lingkungan dan bagaimana
cara pebelajar berinteraksi dengan informasi tersebut. Dengan demikian hal ini
melihat beberapa pandangan-pandangan psikologis dan pandangan-pandangan
filusuf. Pembahasan kali ini juga akan menggambarkan berbagai aturan dari media
dalam belajar dan menampilkan metode-metode yang berbeda, seperti
presentasi-presentasi, demonstrasi-demonstrasi, dan diskusi-diskusi akan teknologi
yang berhubungan dengan belajar. Psychological Perspective on Learning Bagaimana
instruktur menampilkan peran dari media dan teknologi di dalam kelas, ini
tergantung akan seberapa jauh mereka memahami akan bagaimana masyarakat telah
belajar mengunakannya. Dibawah ini ada beberapa perspektif yang berkaitan
dengan psychological perspectives on learningBehaviorist PerspectivePada
pertengahan 1950an, fokus ...
Pengertian Pengukuran, Penilaian,
Pengujian, Evaluasi, dan Asesmen
Pengukuran
adalah kegiatan mengukur. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu
ukuran. Misalnya mengukur panjang meja dengan satuan panjang yaitu meter, atau
mengukur berat badan dengan
satuan berat
yaitu kilogram. Hasil pengukuran bersifat kuantitatif.Penilaian adalah kegiatan
menilai. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu berdasarkan
membandingkan hasil pengukuran dengan suatu kriteria tertentu (ukuran baik
buruk). Putusan itu sesuai atau tidak sesuai dengan kriteria itu.Sedangkan kegiatan
mengevaluasi adalah kegiatan mengukur dan menilai itu. Jadi kegiatan
pengukuran, penilaian, dan evaluasi itu bersifat hierarkhis, artinya dilakukan
secara berurutan dimulai dengan pengukuran, dilanjutkan dengan penilaian, dan
diakhiri dengan mengevaluasi.Pengukuran menurut Guilford ( 1982) adalah proses
penetapan angka
terhadap suatu gejala menurut aturan tertentu. Pengukuran pendidikan berbasis
kompetensi dasar berdasarkan pada klasifikasi observasi unjuk kerja atau
kemampuan peserta didik dengan menggunakan suatu standar. Pengukauran dapat
menggunakan tes dan nontes. Tes adalah seperangkat pertanyaan yang memiliki
jawaban benar atau salah, atau suatu pernyataanpermintaan untuk melakukan
sesuatu. Nontes berisi pertanyaan atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban
benar atau salah. Instrumen nontes bisa berbentuk kuesioner atau inventori.
Kuesioner berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan, peserta didik diminta menjawab
atau memberikan pendapat terhadap pernyataan. Inventori merupakan instrumen
yang berisi tentang laporan diri yaitu keadaan peserta didik, misalnya potensi
peserta didik.Pengujian merupakan ...
Abstrak
Kecenderungan
meningkatnya tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak diduga
sebagai dampak gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi
besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang
relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Hasil penelitian para ahli
menunjukan bahwa tayangan televisi bisa mempengaruhi perilaku anak dan juga
sebaliknya tidak berpengaruh apa-apa. Pengaruh ini justru lebih dominan
dipengaruhi oleh keharmonisan keluarga. Anak dari keluarga harmonis lebih
memiliki benteng/penangkal dalam menyikapi tayangan televisi. Oleh karena itu
penangkal yang paling ampuh terhadap dampak negatif tayangan televisi adalah
menciptakan keluarga yang harmonis, keluarga yang berusaha menanamkan norma
luhur dan nilai agama dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu pula stasiun
televisi mempunyai tanggung jawab mendidik masyarakat dan anak bangsa melalui
pemilihan acara yang tepat.
Pendahuluan
Mungkin kita
masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25 siswanya.
Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo. Dengan wajah dingin
tanpa balas kasihan, mereka memberondong temannya sendiri dengan timah panas.
Kejadian ini sungguh menggemparkan dan banyak pakar yang menuding tayangan
kekerasan di televisi atau komputer (game dan internet) sebagai biangkerok
tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak.
Tudingan
terhadap media massa terutama televisi sebagai biang keladi tindak kekerasan
dan perilaku negatif lainnya pada pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak
lama. Sekitar satu dekade yang lalu, musik rock disalahkan sebagai penyebab
kasus pembunuhan di kalangan remaja. Begitupun film kartun berjudul Beavis dan
Butthead dituding sebagai penyebab memban-jirnya kasus pembakaran rumah di mana
pelakunya adalah anak-anak muda.
Di sekitar kita,
rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton film cowboy di layar
televisi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak
“dor dor.. dor… sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang di pegangnya.
Sering pula kita mendengar ucapan-ucapan yang kurang pas dilontarkan mereka
menirukan idolanya di TV. Begitu pula bagaimana anak-anak meniru berbagai
adegan sadis, sensual, dan erotik yang setiap saat dapat disaksikan melalui
layar TV. Tokoh-tokoh film anak, seperti Superman, Dora Emon, Satria Baja
Hitam, Power Ranger, dan tokoh lainnya sungguh melekat dalam kehidupan mereka.
Bahkan kondisi seperti ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang. Mereka
membuat busana anak yang mirip dengan para tokoh tersebut, dan hasilnya sangat
digemari anak-anak.
Kecenderungan
lain adalah anak-anak dan para remaja merasa bergengsi bila makan makanan yang
sering muncul di layar TV. Makanan fast food seperti fried chichen, pizza,
hamburger, dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan
biasa menjadi makanan luar biasa (bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham
betul merek-merek dagang terkenal dan lux, termasuk merk mobil yang mungkin
mustahil terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih mengkhawatirkan lagi mereka
lebih suka nongkrong di depan TV, diban-dingkan belajar, membaca, atau
mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya.
Memang televisi
semakin dekat dengan anak. Banyaknya pilihan acara yang disuguhkan dari
berbagai stasiun televisi, membuat anak semakin senang nongkrong di depan layar
televisi. Pihak stasiun televisi tidak sedikit menyediakan acara-acara khusus
untuk dikonsumsi anak-anak. Simak saja acara-acara Sabtu dan Minggu pagi hampir
semua stasiun TV menyajikan program anak-anak. Apalagi kini komunikasi antara
orang tua dan anak cenderung berkurang sebagai konsekuensi kesibukan para orang
tua pada pekerjaaanya serta makin hilangnya budaya dongeng orang tua saat
pengantar tidur. Pendek kata, televisi sudah merupakan teman akrab mereka yang
setiap saat mereka bisa menyaksikannya. Tulisan ini akan mencoba menganalisis
bagaimana potensi media televisi dan dampaknya terhadap perilaku anak serta
konstribusi faktor keluarga dalam menagkal gencarnya siaran televisi tersebut.
Potensi Media
Televisi
Mengapa televisi
diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat, terutama pada anak-anak.
Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar,
majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat
istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup
(gerak/live) yang bisa bersifat politis, bisa, informatif, hiburan, pendidikan,
atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Ekspresi korban kerusuhan di
Ambon misalnya, hanya terungkap dengan baik lewat siaran televisi, tidak lewat
koran ataupun majalah. Ratapan orang kelaparan di Ethiophia, gemuruhnya tepuk
tangan penonton sepak bola di lapangan hijau, hiruk pikuknya suasana kampanye
di bunderan Hotel Indonesia, tampak hidup di layar televisi.
Sebagai media
informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk menyampaikan
pesan. Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami
sendiri dengan jangkauan yang luas (broadcast) dalam waktu yang bersamaan.
Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan.
Melalui stasiun televisi, kerusuhan di Ambon dapat diterima di Banda Aceh dan
di Jayapura dalam waktu bersamaan. Begitu pula acara pertandingan AC Milan
melawan Juventus di Italia dapat langsung dinikmati pemirsa RCTI di Indonesia.
Sungguh luar biasa, infomasi/kejadian di belahan bumi sana bisa diterima
langsung di rumah. Televisi bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu para
penonton dapat melihat sambul duduk santai tanpa kesengajaan untuk
menyaksikannya Memang televisi akrab dengan suasana rumah dan kegiatan penonton
sehari-hari.
Dari segi
penontonya, sangat beragam. Mulai anak-anak sampai orang tua, pejabat tinggi
sampai petani/nelayan yang ada di desa bisa menyaksikan acara-acara yang sama
melalui tabung ajaib itu. Melalui beberapa stasiun mereka juga bebas memilih
acara-acara yang disukai dan dibutuhkannya. Begitu pula sebagai media hiburan,
televisi dianggap sebagai media yang ringan, murah, santai, dan segala sesuatu
yang mungkin bisa menyenangkan.
Televisi dapat
pula berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek
kognetif, apektif, ataupun psiko-motor bisa dikemas dalam bentuk program
televisi. Secara lebih khusus televisi dapat dirancang/dimanfaatkan sebagai
media pembelajaran. Pesan-pesan instruksional, seperti percobaan di
laboratorium dapat diperlihatkan melalui tayangan televisi. Televisi juga dapat
menghadirkan objek-objek yang berbahaya seperti reaksi nuklir, objek yang jauh,
objek yang kecil seperti amuba, dan objek yang besar secara nyata ke dalam
kelas. Keuntungan lain, televisi bisa memberikan penekanan terhadap pesan-pesan
khusus pada peserta didik, misalnya melalui teknik close up, penggunaan
grafis/animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik
lainnya yang menimbulkan kesan tertentu pada sasaran sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki.
Memang kekuatan
televisi menurut Kathleen Hall Jamieson sebagai dramatisasi dan
sensasionalisasi isi pesan. Begitu pula menurut pakar komunikasi Jalaluddin
Rakhmat (1991), gambaran dunia dalam televisi sebetulnya gambaran dunia yang
sudah diolah. Dalam hal ini Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan
Usil. Tangan pertama yang usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan
(shots), dan sudut kamera (angles) menentukan kesan pada diri pemirsa.
Tangan kedua
adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk
menimbulkan kesan yang dikehendaki. Sinetron Jin dan Jun di RCTI misalnya,
seolah-olah mereka bisa masuk ke dalam tembok, berjalan di angkasa,
berlari-lari di atas air, atau bisa menghilang. Adegan memenggal kepala orang,
bertarung di angkasa dan bentuk adegan lainnya yang tidak lazim dilakukan dalam
kehidupan, merupakan hasil ulah editor dalam proses penyuntingan.
Tangan ketiga
adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah
persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa meng-akrabkan objek
yang jauh dengan penonton. Seorang penonton sepak bola di rumahnya berteriak
kegirangan ketiga Ronaldo (Inter Milan) memasukan bola ke gawang Juventus.
Memang televisi bisa menjadikan komunikasi inter-personal antara penonton
dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta
bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis nan jauh di sana. Tangan
keempat adalah perilaku para penyair televisi. Mereka dapat menggaris-bawahi
berita, memberikan makna yang lain, atau sebaliknya meremehkannya. Mereka
mempunyai posisi stategis dalam menyam-paikan pesan pada khalayak.
Besarnya potensi
media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kotra.
Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi
nilai-nilai positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi
sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya.
Secara umum kontraversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu
pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah
ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga
televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan
anak.
Acara Anak dan
Film Kartun
Sebagai media
massa, tayangan televisi memungkinkan bisa ditonton anak-anak termasuk acara-acara
yang ditujukan untuk orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah
menyajikan acara-acara khusus untuk anak. Walaupun acara khusus anak tersebut
masih sangat minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YLKI) (Mulkan Sasmita, 1997), persentase acara televisi yang secara
khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7 s.d. 4,5% dari
total tayangan yang ada. Yang lebih menghawatirkan lagi ternyata persentase
kecil inipun materinya sangat menghawatirkan bagi perkembangan anak-anak.
Tayangan
televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis
film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa
yang menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh
produk film import. Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mighty Mouse, Tom
and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu
pula film kartun Jepang, seperti Doraemon, Candy Candy, Sailoor Moon, Dragon
Ball, dst. sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi
kita. Sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman.
Jika kita
perhatikan dalam film kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan
masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan
kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh
antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan
kekerasan, begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui
cara-cara yang sama.
Sri Andayani
(1997) melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti
Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film
tersebut banyak mengandung adegan antisosial (58,4%) daripada adegan prososial
41,6%). Hal ini sungguh ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan.
Studi ini menemukan bahwa katagori perlakuan antisosial yang paling sering
muncul berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mencelakakan 28,46%), dan
pengejekan (11,44%). Sementara itu katagori prososial, perilaku yang kerapkali
muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan
nasihat 13,06%).
Temuan ini
sejalan dengan temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan
kepahlawanan lebih banyak menam-pilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada
adegan pro sosial (36,49%). Begitu pula tayangan film lainnya khususnya film
import membawa muatan negatif, misalnya film kartu Batman dan Superman menurut
hasil penelitian Stein dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi
lebih agresif yang dapat dikatagorikan anti sosial setelah mereka menonton film
kartun seperti Batman dan Superman.
Perbedaan
budaya, ideologi, dan agama negara produsen film dengan negara kita jelas akan
mewarnai terhadap subtasi film tersebut. Karena film dimanapun tidak sekedar
tontonan belaka, ia dapat membawa ideologi, nilai, dan budaya masyarakatnya.
Misalnya, mungkin Satria Baja Hitam atau Power Ranger mempunyai andil besar
atas terbentuknya sikap keberanian dan anti kezaliman. Tetapi keberanian yang
dibutuhkan rakyat Indonesia dan anak Jepang jelas berbeda, paling tidak dalam
kehidupan sehari-harinya. Dalam keseharian masyarakat kita mensyaratkan
keberanian ‘apa adanya’ tanpa tersembunyi di balik kecanggihan teknologi.
Sehingga diharapkan akan tertanam sikap berani dalam berkreasi sesuai dengan
lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya keberanian di Jepang dalam lingkungan
masyarakatnya sudah ditunjang dengan teknologi yang canggih. Kondisi ini
apabila dipandang sama, dihkawatirkan akan melahirkan generasi yang cengeng dan
mudah menyerah. Begitu pula aspek-aspek lain masih banyak yang kurang sesuai
dengan kondisi sosial budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang
diharapkan dapat menanamkan nilai, norma, krativitas, dan kecerdasan yang
‘membumi’ atau sesuai dengan lingkungan disekitarnya. Hal ini pada akhirnya
diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri dan
budaya bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara
Indonesia.
Dampak Tayangan
Televisi pada Anak
Gencarnya
tayangan televisi yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak membuat khawatir
masyarakat terutama para orang tua. Karena manusia adalah mahluk peniru dan
imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja.
Kekhawatiran orang tua juga disebabkan oleh kemampuan berpikir anak masih
relatif sederhana. Mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan televisi
sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana
perilaku/tayangan yang fiktif dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga
masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma
agama dan kepribadian bangsa. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, termasuk
perilaku seksual di layar televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan
perilaku anak.
Para ahli
psikologi menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakekatnya merupakan proses
interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia mahluk
hidup. Sikap dan pola perilaku itu menurut pandangan behavioristik dapat
dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungan. Bertolak dari
pandangan ini, pembiasan dan pengukuhan lingkungan anak dapat dibentuk melalui
tayangan televisi yang sesuai dengan nilai, norma, dan kerpribadian bangsa.
Karena saat ini tayangan televisi setiap saat bisa ditonton anak-anak.
Masalahnya
adalah sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap
terhadap perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran
ini memang relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek
dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika
Serikat tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudul Television and Growing Up; The
Impact of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran
bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku
agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya
0,20 sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi
dasar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan
langsung antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja
berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak
mempunyai pengaruh sekalipun.
Faktor Keluarga
Sebagian besar
anak hidup di lingkungan keluarga. Pendidikan di keluarga akan memberi landasan
bagi kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu perilaku anak sangat dominan
dipengaruhi oleh ling-kungan keluarganya (Oos M. Anwas, 1998). Beberapa pakar
psikologi mengatakan bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas
dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya kelak. Barangkali munculnya berbagai
masalah remaja, seperti perkelahian, tawuran narkotika, dan premanisme lainnya
bisa saja disebabkan kurang harmonisnya lingkungan keluarga saat ini yang
cenderung mengkhawatirkan.
Yang lebih
menarik adalah hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles
(dalam Dedi Supriadi, 1997). Temuannya menun-jukan bahwa pengaruh negatif
tayangan televisi, justru terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam
temuannya, anak-anak yang mutu kehidupannya rendah sangat rawan terhadap
pengaruh buruk televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang teguh nilai, etika,
dan moral serta orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan
terhadap pengaruh tayangan negatif televisi. Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa
memperma-salahkan kualitas tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertimbangkan
kualitas kehidupan keluarga. Ini berarti menciptakan keluarga yang harmonis
jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok
meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.
Mungkin kita
akan lebih yakin terhadap temuan Coles apabila mengkaji bagaimana proses
pembentukan perilaku manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus
yang diterima melalui pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan
pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu
yang masih labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan
yang akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan
televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya. Bagi anak yang
berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di layar
televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orang
tuanya bisa menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku
sehari-hari membuat benteng yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di
layar televisi. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga yang mutu kehidupan
keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit disaring, karena mereka
belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula dalam
lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku
normatif yang dapat dijadikan filter tayangan televisi.
Idealnya, para
orang tua selalu menjadi pendamping anak dalam menonton televisi. Acara-acara
mana yang pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan
mengenai adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya,
apakah sanggup para orang tua mendampingi putra-putrinya nonton TV. Kini si
keci dimungkinkan nonton TV setiap saat dengan berbagai acara termasuk film
adegan kekerasan/sadisme. Semen-tara itu para orang tua sibuk dengan tugas
pekerjaan sehari-harinya. Oleh karena itu benteng yang paling kuat adalah bagaimana
menciptakan keluarga yang harmonis. Komunikasi orang tua dan anak dituntut
lancar dan berkualitas. Nilai, norma, dan ajaran agama dijadikan landasan hidup
dalam keluarga. Kondisi seperti ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi anak
dalam menyaring gencarnya tayangan televisi.
Catatan Akhir
Media televisi
dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara
audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu bersamaan (broadcast). Pesan
yang dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya atau
menimbulkan kesan lain. Oleh karena itu media ini memiliki potensi besar dalam
merubah sikap dan perilaku masyarakat. Sementara itu persaingan di antara
stasiun televisi semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang
digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan
tersebut. Penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan
remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.
Gencarnya
tayangan televisi yang berbau kekerasan, konsumtif, sadisme, erotik, bahkan
sensual menimbulkan kekhawatiran para orang tua. Kondisi seperti ini sangatlah
wajar, karena kini anak-anak mereka bisa menyaksikan acara televisi setiap
saat. Tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya yang kini cenderung
meningkat pada anak/remaja langsung menuding televisi sebagai biang keroknya.
Tidak sedikit para orang tua mencacimaki/ protes terhadap tayangan televisi
yang dirasakan kurang pas. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing. Mungkin kita (para orang tua) perlu merenungi temuan Coles,
bahwa jauh lebih penting menciptakan keluarga yang harmonis dibandingkan
menyalahkan tayangan televisi, karena faktor keharmonisan keluarga bisa
menangkal pengaruh negatif televisi. Di sini jelas perlu adanya keseimbangan
antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk
menciptakan keharmonisan keluarga. Menjaga komunikasi dan menanamkan nilai
serta norma agama pada anak. Begitupun para pengelola stasiun televisi
hendaknya mempunyai tanggungjawab moral terhadap acara-acara yang
ditayangkannya. Mereka hendaknya tidak sekedar mencari untung (kue iklan)
terhadap acara yang ditayangkannya. Stasiun televisi merupakan bagian integral
dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai tanggung-jawab untuk menjaga
dan sekaligus mening-katkan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat,
termasuk mendidik anak-anak.
(Drs. Oos M
Anwas, www.pustekkom.go.id)